Sabtu, 10 Januari 2009
Jurgen Habermas
Jurgen Habermas considers his own major achievement the development of the concept and theory of communicative reason or communicative rationality, which distinguishes itself from the rationalist tradition by locating rationality in structures of interpersonal linguistic communication rather than in the structure of either the cosmos or the knowing subject. He carries forward the tradition of Immanuel Kant and the Enlightenment and of democratic socialism through his emphasis on the potential for transforming the world and arriving at a more humane, just, and egalitarian society through the realization of the human potential for rationality.
Habermas works equally comfortably in the fields of sociology and philosophy, and his magnum opus, The Theory of Communicative Action (in two volumes) addresses not only philosophies of agency and rationality, but the theories of sociologists like Max Weber, George Herbert Mead, Emile Durkheim and Talcott Parsons. In this work, Habermas counterposes the traditional idea of an objective cognitive-instrumental (functionalist) reason to other reasoning capacities that perform subjective and intersubjective duties within the rich fabric of societal interactions. From the ideas of intersubjectivity developed here, Habermas and fellow Frankfurt critic Karl-Otto Apel developed the distinctive theory of discourse ethics. One of Habermas' earliest important philosophical exchanges was with Hans-Georg Gadamer over the applicability of Gadamer's idea of interpretation to the critique of ideology, one of Habermas' prime foci. Because of the varied applicability of Habermas's work, from psychoanalysis to action theory to epistemology to hermeneutics, he is called one of the "four or five most important philosophers of the twentieth century" and akin to Karl Marx in the variety of interpretations that his ideas have spawned in many fields, including literary theory, economics, and public policy.
As a second-generation member of the Frankfurt School of critical theory, Habermas was a student of Max Horkheimer and Theodor Adorno. In his wide-ranging and varied works, he had broken with the anti-rationalist, anti-Westernist stance of the previous generation of Frankfurt theorists and taken a different route in his critical appraisal of Western institutions and rationality. Habermas stresses the humanist side of Karl Marx's work as a critic, and has written on the Hegelian tensions between theory and practice in philosophy. Habermas is particularly notable for his defense of a Kantian conception of rationality, which have been assailed by other postmodern thinkers.
Jumat, 09 Januari 2009
Masyarakat Kontemporer: Sebuah Tinjauan
Refleksi Historis
Memasuki abad 20, dinamika ilmu pengetahuan di Barat berkembang dengan sangat cepat. Hal ini bisa dibuktikan dengan hadirnya segala macam teknologi dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Penekanan tentunya pada semakin berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi. Karena teknologi komunikasi dan transportasi inilah yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat dunia (Piliang, 2004).
Dalam hal ini, teknologi komunikasi dan transportasi memegang peranan vital dalam. Teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi mempermudah arus informasi dan distribusi teknologi itu sendiri. Dengan kata lain, kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi mempermudah akses bagi ekspansi teknologi ke segala arah, di seluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, arus distribusi teknologi tidak dapat dielakkan.
Teknologi transportasi dan komunikasi telah sangat masif memungkinkan terjadinya proses mobilitas yang semakin intensif, dengan gerakan orang dan imajinasi yang meninggalkan batas-batas geografis dan kultural (Abdullah, 2007: 20). Kemudahan yang ditawarkan oleh hadirnya teknologi komunikasi dan transportasi, membawa manusia pada tingkat mobilisasi yang tinggi. Tidak hanya itu, mobilitas juga terjadi terhadap barang dan jasa. Inilah yang menjadi stumulus pembentukan orientasi baru dalam tatanan masyarakat dunia.
Abdullah (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga tahapan dalam pembentukan orientasi baru dalam masyarakat. (1) Masuknya pasar dalam sistem masyarakat agrikultur. Sebagaimana dalam kajian ilmu sosial, masyarakat pra industri adalah masyarakat agraris. Ciri masyarakat agraris awal sebagaimana dijelaskan oleh Husken (1998) adalah adanya pola pertanian subsistensi, yakni suatu sistem produksi yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, atau dengan kata lain adalah produksi non komersil. Introduksi pasar dalam masyarakat petani subsistensi secara umum mengubah orientasi produksi pertanian, yang awalnya merupakan produksi subsisten menjadi produksi berorientasi pasar. Dengan adanya pertanian komersil berorientasi pasar mendorong masyarakat petani untuk kemudian membuka akses jaringan komersial yang berada di luar desa. Selain itu, komodifikasi hasil-hasil pertanian menuntut untuk dilakukannya produksi dalam jumlah yang besar sesuai permintaan pasar. Hal ini kemudian menyebabkan adanya kebijakan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa guna memenuhi tenaga kerja agraris untuk peningkatan produksi. Proses inilah yang kemudian menstimulasi interaksi yang intensif petani dengan masyarakat lain di luar batas geografis desanya.
(2) Terjadinya proses integrasi pasar dalam ide, nilai, dan praktik yang bersifat nasional. Apabila di bagian pertama terlihat bagaimana beberapa desa terintegrasi dalam satu pasar (yang bersifat regional), kini pasar-pasar tersebut terintegrasi pada level nasional. Integrasi pasar ke level nasional mengakibatkan barang-barang produksi lokal di satu wilayah menjadi komoditi di wilayah nasional, yang memungkinkan untuk terdistribusi ke wilayah lokal lainnya. Dalam hal ini, segala barang, telah membaur, tidak terkecuali barang-barang pabrikan, mulai masuk ke segala pelosok daerah. Pada fase ini, interaksi masyarakat tidak hanya berada pada level regional, namun telah mencapai wilayah nasional yang kemudian ditandai dengan adanya interaksi antar etnis, perkawinan lintas budaya, serta masuknya totalitas nasional dalam nilai-nilai kultur suatu masyarakat.
Tahapan berikutnya, (3) disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu fase dimana kekuatan pasar telah membentuk dan mempengaruhi tatanan sosial. Pasar di sini menjelma sebagai sebuah kekuatan yang membangun dunia kehidupan sehari-hari dengan memindah-mindahkan batas dan ikatan tradisional dengan mengikuti logika berpikir pasar. Dalam fase ini, masyarakat telah terintegrasi ke dalam satu kampung global, dimana interaksi antar negara dan antar budaya mulai semakin intensif. Pada tahapan ketiga inilah kondisi dinamika sosial saat ini berada. Dengan prinsip-prinsip diferensiasi yang lebih kuat dibandingkan pada tahapan yang kedua pada era totalitas.
Deteritorialisasi Ruang dan Gaya Hidup
Integrasi ekonomi ke dalam tatanan ekonomi global, telah terbukti juga merupakan integrasi sosial-budaya ke dalam satu tatanan dunia yang kehadirannya dapat dilihat dalam pola kehidupan masyarakat saat ini. Revolusi teknologi elektronik, teknologi komunikasi dan transportasi merupakan jembatan utama yang menghubungkan berbagai tempat dengan berbagai belahan dunia. Di dalam tingginya laju lalu-lintas barang dan jasa sebagai ekspansi pasar inilah muncul kecenderungan consumer culture (Evers, 1991). Dalam proses ini, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah tatanan nilai dan simbolis satu masyarakat, yang mengakibatkan terjadinya sebuah transformasi identitas dan subyektifitas di dalam ruang-ruang yang saling terintegrasi.
Deteritorialisasi terjadi manakala barang-barang produksi yang berasal dari luar batas-batas negara dan kebudayaan saling bertemu dan terhenti di dalam satu ruang tertentu. Terhentinya barang tersebut diartikan sebagai digunakannya atau dikonsumsinya barang-barang tersebut oleh masyarakat. Dalam proses konsumsi inilah terjadi negosiasi nilai-nilai yang kemudian sangat menentukan identitas kulturtal suatu masyarakat. Budaya konsumsi memainkan peranan yang sangat penting di sini. Manakala konsumsi telah menjadi sebuah budaya, maka tingkat laju konsumsi secara otomatis akan semakin tinggi. Dengan tinggi dan cepatnya tingkat konsumsi, maka ruang-ruang negosiasi nilai semakin menyempit dan pada akhirnya akan hilang. Penetrasi barang dalam proses konsumsi dengan cepat menggeser nilai-nilai lokal yang ada dalam masyarakat, hingga pada satu level yang ekstrem masyarakat mengalami disintegrasi nilai dan identitas. Hal yang paling simpel misalnya ketika pada satu malam minggu di perempatan Benteng Vredeburg Yogyakarta, terdapat sekelompok anak muda (yang ternyata orang Jawa) mengenakan pakaian ala punk Amerika. Identitas Jawa (surjan, blankon, dll) berganti dengan identitas Amerika (style punk).
Dijelaskan oleh Goffman (1951) bahwa tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas yang di dasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang komunikasi merupakan alat komunikasi. Barang yang dikonsumsi berhubungan sangat dengan aspek-aspek psikologis di mana konsumsi suatu produk, berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar assesoris, tetapi merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Pada tataran inilah, proses konsumsi bukan lagi didasari oleh kebutuhan suatu barang. Nilai guna suatu barang tidak lagi menjadi prioritas. Dalam hal ini, proses konsumsi lebih didasari oleh konsumsi terhadap citra suatu barang. Citra yang ditampilkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi satu kelompok tertentu. Bagi kelompok tertentu, terutama masyarakat perkotaan, citra (image) yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrument modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya.
Di dalam consumer culture, proses identifikasi dan pemaknaan terhadap diri (the self) sangat didasarkan pada apa yang dikonsumsi. Kecenderungan ini muncul seiring kesadaran diri (self consciousness) yang tumbuh ketika proses aktif konsumsi dilakukan. The self consciousness menciptakan suatu relasi baru yang terhubung oleh kesamaan kesadaran yang dihasilkan oleh proses konsumsi terhadap satu produk yang relatif sama. Inilah yang kemudian membentuk satu kelas tertentu dengan pola yang sama dan frekuensi yang intensif. Contoh simpel adalah gaya berbelanja di mall dan konsumsi makanan di restaurant mewah oleh orang-orang kaya perkotaan. Dalam kondisi seperti ini, terlihat jelas bahwa proses konsumsi telah membentuk suatu kesatuan kehidupan dengan basis-basis material yang dapat menghilangkan nilai-nilai subjektif dalam pertukaran sosial (Simmel, 1991).
Masyarakat dan Cyber Space
Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini, dinilai oleh para kalangan sebagai satu proses yang menggiring masyarakat global kea rah akhir sosial. Saat ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme, dan solidaritas semakin kehilangan realitas sosialnya. Tak urung sampai di situ, belakangan konsep-konsep tersebut hanya menjadi sebuah mitos belaka dalam masyarakat. Realitas yang bekembang saat ini justru menjauhkan individu dari lingkungan sosialnya. Proses akhir sosial di sini diartikan sebagai sebuah akibat modernisasi yang telah mencapai titik ekstrimnya yang kemudian disebut sebagai hipermodernisasi kontemporer (Piliang, 2004: 133).
Kondisi dinamika sosial saat ini diakui maupun tidak telah pada posisi yang abstrak. Kehiduan sosial pada saat ini telah kehilangan kesatuannya seiring arus perubahan yang terus-menerus, yang di dalamnya aktor-aktor individu tidak lagi bertindak berdasarkan nilai dan norma sosialnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai dan norma sosial semakin memudar oleh penetrasi globalisasi. Dalam kelanjutannya, Masyarakat tidak lagi bergerak berdasarkan nilai dan norma sosial, melinkan dengan strateginya masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan yang lebih didasarkan pada penetrasi pasar. Dan dampaknya adalah tidak ada lagi yang dapat mengontrol masyarakat kecuali kekuatan penetrasi pasar itu sendiri.
Proses akhir sosial tersebut semakin menjadi-jadi tatkala inovasi teknologi semakin cepat. Percepatan proses akhir sosial terjadi ketika media dan informasi telah menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Setiap media dan informasi bergerak melalui dua arah, yakni ke luar: ia memproduksi semakin banyak relasi sosial; ke dalam ia justru menetralisasi relasi sosial itu sendiri (Piliang, 2004: 134). Dari proses inilah kemudian memunculkan satu masyarakat yang terbentuk bukan oleh satu ikatan ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang berkontestasi dalam dinamika masyarakat consumer. ‘Akhir sosial’ suatu masyarakat dapat dilihat dari berbagai fenomena sosial yang nampak, seperti lenyapnya kategori sosial, batas sosial, hierarki sosial yang sebelumnya membentuk suatu masyarakat.
Selanjutnya, jaringan informasi semakin hari semakin transparan dan virtual, tatkala tidak adal lagi moral yang mengikatnya serta ketiadaan ukuran nilai untuk membatasinya. Segala sesuatunya berjalan sangat bebas dalam sirkuit global dalam dunia virtual. Sirkuit virtual ini kemudian membentuk sebuah orbit, dimana individu-individu yang berada di dalamnya akan mengorbit dalam sirkuit tersebut. Dalam sebuah kondisi virtual, individu-individu saling terhubung dalam sebuah kontestasi informasi. Kontestasi tersebut berbentuk sebuah persaingan untuk mendapatkan informasi guna merespon dan menciptakan strategi dalam proses perubahan. Inilah yang kemudian membuat sinergitas individu dalam lingkungan sosial semakin menjauh. Sebaliknya, keterkaitan individu dalam satu cyber space tertentu semakin mengental. Potret inilah yang kemudian banyak mewarnai kehidupan masyarakat dunia pada era teknologi di abad 21.
Abdullah, Irwan
2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Berger, Arthur Asa
2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana
Evers, Hans-Dieter
1991. Trade and State: Social and Political Consequences of Market Integration in Southeast Asia. Pacific Focus, Vol. 5, No. I.
Goffman, E
1951. System of Class Status. British Journal of Sociology No. 2
Hüsken, Frans
1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman. Jakarta: Grasindo
Piliang, Yasraf Amir
2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutta
Simmel, George
1991. “Money in Modern Culture”, Theory, Culture, and Society. London: Routledge.
Senin, 05 Januari 2009
LIGA INGGRIS : SUPREMASI KAPITALISME SEPAK BOLA
Dalam era modern ini, kapitalisme menjelma sebagai salah satu kekuatan dalam dinamika masyarakat Internasional. Paham tersebut menjadi arwah dari segala aktivitas manusia yang tidak hanya dalam lingkup satu Negara atau kawasan, namun telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Tak di sangkal lagi bahwa kapitalisme telah menggeser nilai-nilai lama yang direduksi menjadi nilai-nilai baru dalam sebuah system yang disebut kapitalisme itu seniri.
Kapitalisme ini dapat dilihat dari adanya aktifitas manusia yang digerakkan oleh nilai-nilai kapital. Gejala yang dapat ditangkap dari adanya kapitalisme ini adalah segala aktifitas manusia yang pada dasarnya memiliki orientasi terhadap akumulasi modal. Sebagaimana kita ketahui bahwa kapitalisme merupakan paham yang mengagungkan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya sehingga segala aktivfitas manusia yang terpengaruh oleh paham kapitalisme, akan menjadi sebuah aktifitas yang berorientasi pada modal.
Kapitalisme sebagai paham, telah manjadi nilai-nilai baru bagi masyarakat modern. Implikasi dari bertransformasinya kapitalisme ke dalam sebuah nilai adalah segala hal yang berkaitan dengan manusia akan menjurus pada pergerakan modal. Kapitalisme sendiri telah merambah pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak hanya pada aspek yang bersifat public saja, kapitalisme telah merambah kehidupan manusia yang bersifat privat. Dengan kata lain, perkembangan peradaban manusia digerakkan oleh sebuah roda bernama kapitalisme.
Salah satu bentuk manifestasi kapitalisme dalam kehiupan manusia adalah industry sepak bola. Sepak bola yang pada dasarnya adalah sebuah permainan, namun telah tersentuh aroma kapitalisme di abad modern ini. Dalam sepak bola modern, bukan hanya olahragawan yang bermain, namun para spekulan-spekulan penggerak modal menjadi pemain kedua belas dalam sebuah kesebelasan. Dengan kata lain, sepak bola modern bukan hanya urusan kesehatan, hobi, maupun permainan, namun juga urusan pergerakan modal.
Kapitalisme Sepak Bola
Sepak bola merupakan suatu cabang olah raga yang dapat digolongkan dalam permainan. Keberadaan sepak bola sebagai cabang olah raga telah berumur sangat tua. Dari beberapa data yang ada, pada abad delapan belas, sepak bola telah dimainkan oleh manusia di daratan eropa.
Namun demikian, belum ada catatan pasti mengenai kapan dan di mana lahirnya sepak bola. Ada pendapat mengatakan bahwa sepak bola berakar dari romawi ketika para prajurit perang menendang kepala tentara musuh yang dipenggal. Terlepas dari itu, Inggris mencatatkan diri sebagai Negara pencipta sepak bola modern.
Pada perkembangannya, sepak bola banyak dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi di Inggris. masuknya pengaruh industrialisasi yang di dalamnya menganut paham kapitalisme ini ditengarai terjadi pada abad ke Sembilan belas sampai awal abad dua puluh. Masuknya pengaruh industialisme dalam sepak bola di tandai dengan munculnya klub-klub sepak bola lokal di Inggris, misalnya Liverpool, Manchester United, Newcastle United, Chelsea, Nottingham Forest, dan masih banyak lagi yang lainnya. Munculnya klub-klub sepak bola ini menjadi sebuah pertanda bahwa telah terjadi perubahan besar dalam sepak bola yang dimulai dari Negara pencetus Industri, Inggris.
Dalam sepak bola, watak industrialisasi menyusup dalam kehidupan klub-klub sepak bola tersebut. watak industri ini seperti yang digambarkan oleh Adam Smith bahwa ideology industrialisme dan kapitalisme memiliki cirri adanya spesialisasi kerja untuk mengejar prouksi massal yang berorientasi pasar. Singkatnya ada pembagian kerja yang baku sebagai sebuah sarana mencapai efektifitas produksi.
Watak Industri dan kapitalis seperti yang dijelaskan adam smith di atas teraplikasikan dalam klub-klub sepk bola. Klub sepak bola dijadikan sebuah organisasi usaha, yang didalamnya terdapat nilai-nilai tersendiri. Dalam klub tersebut, terdapat sebuah manajemen yang dijalankan sebagai sebuah manajemen usaha. Menejemen ini bertugas untuk mengelola tim agar menjadi tim yang produktif dalam mendulang prestasi maupun pasar.
Berbeda dengan manajemen, tim sepak bola dalam sebuah klub juga terdapat pembagian kerja yang jelas. Sepak bola yang mungkin pada awalnya hanya permainan keroyokan asal tendang bola, mencai permainan yang super canggih. Spesialisasinya cukup jelas, ada striker bertugas menyerang, ada gelandang menyuplai bola, dan ada pula bek yang bertugas mempertahankan gawang. Pola pembagian kerja ini sama dengan buruh dalam sebuah pabrik mobil, ada yang bertugas mengelas, ada yang memasang baut, ada yang mengecat, dan sebagainya. Pembagian tugas itu semakin dipertegas dengan istilah-istilah posisi pemain yang cukup rumit, ada defender, sweeper, stopper, libero, playmaker, dan bomber.
Spesialisasi menjadi sebuah harga mati dalam sepak bola. Bahkan terdapat penegasan yang jelas pula dalam spesialisasi kerja sepak bola. Salah satu Contoh penegasan pembagian tugas itu, misalnya seorang bek yang ikut maju menyerang dan melupakan tugasnya bertahan akan dimaki pelatih jika timnya kebobolan. Tidak hanya itu, pemain tersebut akan di kenakan sanksi dari tim, misalnya tidak di mainkan pada pertandingan berikutnya hingga sanksi dicoret dari tim. Kesemua ini adalah bentuk dari aplikasi system dan nilai-nilai kapitalisme.
Liga Inggris Dalam Perputaran Modal
Dalam perkembangannya, sepak bola yang memiliki watak Industrialisme dan kapitalisme seperti dijelaskan di atas, menjadi sebuah system yang baku. System permainan yang terspesialisasi di atas menjadi sebuah system yang diterima di seluruh dunia.
Industrialisasi dan kapitalisasi sepak bola di era modern ini terus berkembang. hal ini terlihat dari berkembangnya klub-klub sepak bola lokal yang muncul di Inngris. Dalam perkembangannya, klub-klub sepak bola tersebut bukan hanya menjadi sebuah tim sepak bola, namun telah menjadi sebuah organisasi usaha yang di kelola untuk menciptakan produksi yang berorientasi pada pasar.
Hal ini terlihat dari sistem sepak bola modern yang terjadi di Liga Inggris pada era 2000 ini. Klub-klub di Liga Inggris saat ini telah menjadi sebuah lahan produktif yang dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Di Inggris sendiri, sepak bola Liga Inggris bukan hanya menjadi sebuah pertandingan yang setiap akhir pekan di mainkan, namun telah menjadi sara rekreasi masyarakat Inggris. Seperti di ketahui, bahwa setiap akhir pecan, masyarakat di Inggris meluangkan waktunya datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan Liga Inggris. Inilah yang mendukung suburnya kapitalisme berkembang di Liga Inggris.
Di era 2000an, kapitalisme semakin memainkan perannya di Liga Inggris. klub-klub sepak bola tidak lagi sebagai sebuah tim yang di miliki oleh masyarakat Inggris, namun juga bagian dari pemilik modal yang ingin meraup keuntungan sebanyak mungkin dari sepak bola Liga Inggris. Tercatat nama seperti Roman Abramovich, George Gillette, bahkan politisi Thaksin Sinawatra. Seperti di kutip di berbagai media baik di Inggris maupun di seluruh dunia, taipan Rusia, Roman Abramovich membeli semua saham Klub Inggris, Chelsea, dengan milyaran poundsterling. Pemilik pabrikan Gellete, George Gillete, membeli saham milik klub Liverpool untuk di jadikan lahan bisnis guna mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Apa yang dilakukan oleh Abramovich maupun Gillete merupakan suatu bentuk eksploitasi sepak bola oleh modal.
Kondisi seperti di atas, menjadikan sepak bola liga Inggris bukan lagi sebagai sebuah oleh raga belaka. Sepak bola telah menjadi mesin produksi yang dikembangkan oleh modal, sehingga dapat meraup keuntungan yang luar biasa besarnya. Pemain sepak bola Liga Inggris telah di sulap sebagai alat produksi yang di hargai dengan uang. Untuk meningkatkan kualitas produksi, klub-klub di Inggris menggunakan uang untuk membeli pemain. Tercatat klub-klub kaya seperti Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea, mengeluarkan milyaran poundsterling untuk membeli pemain-pemain yang berkualitas guna produktifitas klub. Pemain-pemain tersebut bukan hanya menjadi alat produksi di lapangan, namun juga di luar lapangan. Pemain-pemain berkualitas di klubnya, akan menjadi ikon pemasaran. Hal ini berkembang menjadi bisnis merchandise yang di pasarkan oleh klub, sehingga mendatangkan keuntungan yang cukup besar mengingat masyarakat di Inggris dapat dikatakan sangat mengkonsumsi sesuatu yang berbau Liga Inggris.
Dampak Kapitalisme Liga Inggris
Kapitalisme yang berkembang dalam perjalanan persepakbolaan di Inggris seperti di jelaskan pada bab di atas, menjadikan sepak bola di Inggris sebagai sebuah lahan bisnis. Sepak bola bukan hanya sebuah cabang olah raga namun telah menjadi mesin produksi yang digerakkan oleh modal. Orientasi dari produksi tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari sepak bola.
Kapitalisme yang berkembang di klub-klub Inggris telah menghilangkan esensi kesepakbolaannya di negeri tersebut. sepak bola di Liga Inggris telah menggeser orang-orang asli Inggris sendiri untuk masuk dalam sebuah klub. Klub sepak bola Inggris lebih memilih membeli pemain dari luar Inggris yang di anggap lebih produktif. Kondisi demikian cukup mengenaskan, klub-klub sepak bola tersebut tumbuh di Inggris, namun masyarakat Inggris sendiri tidak dapat menikmati permainan tersebut dalam sebuah pertandingan kompetisi Liga Inggris. Hal ini bisa terlihat dari tiap pertandingan Liga Inggris yang di mainkan. Arsenal misalnya, dalam setiap pertandingan yang dimainkan, tim arsenal tidak ada satu pemain asli Inggris yang di pasang. Kesemuanya adalah pemain dari luar Inggris. hal ini juga terajdi pada Liverpool yang hanya memiliki dua pemain Inggris dalam timnya.
Kondisi yang demikian membuat orang-orang Inggris asli tersingkir dari persaingan pemain di Liga Inggris. Hal ini menyebabkan sepak bola di Inggris mengalami stagnansi karena pemain-pemain asli Inggris kalah bersaing dengan pemain-pemain yang di beli dari luar Inggris. Kondisi yang demikian lama-kelamaan akan mematikan perkembangan sepak bola Inggris.
Salah satu kasus dari munculnya kapitalisme adalah tidak lolosnya tim nasional Inggris dalam kompetisi Euro 2008. Seperti kita ketahui tim nasional Inggris gagal lolos ke kompetisi Euro 2008 karena gagal dalam babak kualifikasi. Dalam babak kualifikasi tersebut, Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan kualifikasi, sehingga gagal lolos dalam Euro 2008. Hal ini disebabkan karena pemain-pemain Inggris bukan pemain yang berkualitas karena kurang jam terbang di liganya.
Kapitalisme yang berkembang dalam dunia sepak bola telah menyulap sepak bola menjadi sebuah mesin produksi yang dipakai oleh pemegang modal untuk meraup keuntungan semata. sepak bola tidak lagi mengedepankan etika olehraga yang sportif belaka, tetapi juga mengutamakan etika bisnis, di mana nilai-nilai ekonomis yang selalu di terapkan. Dengan kata lain, masuknya Kapitalisme menjadi sebuah ancaman yang akan menggerogoti nilai-nilai kebudayaan dalam suatu masyarakat.