Jumat, 09 Januari 2009

Masyarakat Kontemporer: Sebuah Tinjauan

Refleksi Historis

Memasuki abad 20, dinamika ilmu pengetahuan di Barat berkembang dengan sangat cepat. Hal ini bisa dibuktikan dengan hadirnya segala macam teknologi dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Penekanan tentunya pada semakin berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi. Karena teknologi komunikasi dan transportasi inilah yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat dunia (Piliang, 2004).

Dalam hal ini, teknologi komunikasi dan transportasi memegang peranan vital dalam. Teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi mempermudah arus informasi dan distribusi teknologi itu sendiri. Dengan kata lain, kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi mempermudah akses bagi ekspansi teknologi ke segala arah, di seluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, arus distribusi teknologi tidak dapat dielakkan.

Teknologi transportasi dan komunikasi telah sangat masif memungkinkan terjadinya proses mobilitas yang semakin intensif, dengan gerakan orang dan imajinasi yang meninggalkan batas-batas geografis dan kultural (Abdullah, 2007: 20). Kemudahan yang ditawarkan oleh hadirnya teknologi komunikasi dan transportasi, membawa manusia pada tingkat mobilisasi yang tinggi. Tidak hanya itu, mobilitas juga terjadi terhadap barang dan jasa. Inilah yang menjadi stumulus pembentukan orientasi baru dalam tatanan masyarakat dunia.

Abdullah (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga tahapan dalam pembentukan orientasi baru dalam masyarakat. (1) Masuknya pasar dalam sistem masyarakat agrikultur. Sebagaimana dalam kajian ilmu sosial, masyarakat pra industri adalah masyarakat agraris. Ciri masyarakat agraris awal sebagaimana dijelaskan oleh Husken (1998) adalah adanya pola pertanian subsistensi, yakni suatu sistem produksi yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, atau dengan kata lain adalah produksi non komersil. Introduksi pasar dalam masyarakat petani subsistensi secara umum mengubah orientasi produksi pertanian, yang awalnya merupakan produksi subsisten menjadi produksi berorientasi pasar. Dengan adanya pertanian komersil berorientasi pasar mendorong masyarakat petani untuk kemudian membuka akses jaringan komersial yang berada di luar desa. Selain itu, komodifikasi hasil-hasil pertanian menuntut untuk dilakukannya produksi dalam jumlah yang besar sesuai permintaan pasar. Hal ini kemudian menyebabkan adanya kebijakan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa guna memenuhi tenaga kerja agraris untuk peningkatan produksi. Proses inilah yang kemudian menstimulasi interaksi yang intensif petani dengan masyarakat lain di luar batas geografis desanya.

(2) Terjadinya proses integrasi pasar dalam ide, nilai, dan praktik yang bersifat nasional. Apabila di bagian pertama terlihat bagaimana beberapa desa terintegrasi dalam satu pasar (yang bersifat regional), kini pasar-pasar tersebut terintegrasi pada level nasional. Integrasi pasar ke level nasional mengakibatkan barang-barang produksi lokal di satu wilayah menjadi komoditi di wilayah nasional, yang memungkinkan untuk terdistribusi ke wilayah lokal lainnya. Dalam hal ini, segala barang, telah membaur, tidak terkecuali barang-barang pabrikan, mulai masuk ke segala pelosok daerah. Pada fase ini, interaksi masyarakat tidak hanya berada pada level regional, namun telah mencapai wilayah nasional yang kemudian ditandai dengan adanya interaksi antar etnis, perkawinan lintas budaya, serta masuknya totalitas nasional dalam nilai-nilai kultur suatu masyarakat.

Tahapan berikutnya, (3) disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu fase dimana kekuatan pasar telah membentuk dan mempengaruhi tatanan sosial. Pasar di sini menjelma sebagai sebuah kekuatan yang membangun dunia kehidupan sehari-hari dengan memindah-mindahkan batas dan ikatan tradisional dengan mengikuti logika berpikir pasar. Dalam fase ini, masyarakat telah terintegrasi ke dalam satu kampung global, dimana interaksi antar negara dan antar budaya mulai semakin intensif. Pada tahapan ketiga inilah kondisi dinamika sosial saat ini berada. Dengan prinsip-prinsip diferensiasi yang lebih kuat dibandingkan pada tahapan yang kedua pada era totalitas.

Deteritorialisasi Ruang dan Gaya Hidup

Integrasi ekonomi ke dalam tatanan ekonomi global, telah terbukti juga merupakan integrasi sosial-budaya ke dalam satu tatanan dunia yang kehadirannya dapat dilihat dalam pola kehidupan masyarakat saat ini. Revolusi teknologi elektronik, teknologi komunikasi dan transportasi merupakan jembatan utama yang menghubungkan berbagai tempat dengan berbagai belahan dunia. Di dalam tingginya laju lalu-lintas barang dan jasa sebagai ekspansi pasar inilah muncul kecenderungan consumer culture (Evers, 1991). Dalam proses ini, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah tatanan nilai dan simbolis satu masyarakat, yang mengakibatkan terjadinya sebuah transformasi identitas dan subyektifitas di dalam ruang-ruang yang saling terintegrasi.

Deteritorialisasi terjadi manakala barang-barang produksi yang berasal dari luar batas-batas negara dan kebudayaan saling bertemu dan terhenti di dalam satu ruang tertentu. Terhentinya barang tersebut diartikan sebagai digunakannya atau dikonsumsinya barang-barang tersebut oleh masyarakat. Dalam proses konsumsi inilah terjadi negosiasi nilai-nilai yang kemudian sangat menentukan identitas kulturtal suatu masyarakat. Budaya konsumsi memainkan peranan yang sangat penting di sini. Manakala konsumsi telah menjadi sebuah budaya, maka tingkat laju konsumsi secara otomatis akan semakin tinggi. Dengan tinggi dan cepatnya tingkat konsumsi, maka ruang-ruang negosiasi nilai semakin menyempit dan pada akhirnya akan hilang. Penetrasi barang dalam proses konsumsi dengan cepat menggeser nilai-nilai lokal yang ada dalam masyarakat, hingga pada satu level yang ekstrem masyarakat mengalami disintegrasi nilai dan identitas. Hal yang paling simpel misalnya ketika pada satu malam minggu di perempatan Benteng Vredeburg Yogyakarta, terdapat sekelompok anak muda (yang ternyata orang Jawa) mengenakan pakaian ala punk Amerika. Identitas Jawa (surjan, blankon, dll) berganti dengan identitas Amerika (style punk).

Dijelaskan oleh Goffman (1951) bahwa tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas yang di dasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang komunikasi merupakan alat komunikasi. Barang yang dikonsumsi berhubungan sangat dengan aspek-aspek psikologis di mana konsumsi suatu produk, berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar assesoris, tetapi merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Pada tataran inilah, proses konsumsi bukan lagi didasari oleh kebutuhan suatu barang. Nilai guna suatu barang tidak lagi menjadi prioritas. Dalam hal ini, proses konsumsi lebih didasari oleh konsumsi terhadap citra suatu barang. Citra yang ditampilkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian atau makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi satu kelompok tertentu. Bagi kelompok tertentu, terutama masyarakat perkotaan, citra (image) yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrument modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya.

Di dalam consumer culture, proses identifikasi dan pemaknaan terhadap diri (the self) sangat didasarkan pada apa yang dikonsumsi. Kecenderungan ini muncul seiring kesadaran diri (self consciousness) yang tumbuh ketika proses aktif konsumsi dilakukan. The self consciousness menciptakan suatu relasi baru yang terhubung oleh kesamaan kesadaran yang dihasilkan oleh proses konsumsi terhadap satu produk yang relatif sama. Inilah yang kemudian membentuk satu kelas tertentu dengan pola yang sama dan frekuensi yang intensif. Contoh simpel adalah gaya berbelanja di mall dan konsumsi makanan di restaurant mewah oleh orang-orang kaya perkotaan. Dalam kondisi seperti ini, terlihat jelas bahwa proses konsumsi telah membentuk suatu kesatuan kehidupan dengan basis-basis material yang dapat menghilangkan nilai-nilai subjektif dalam pertukaran sosial (Simmel, 1991).

Masyarakat dan Cyber Space

Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini, dinilai oleh para kalangan sebagai satu proses yang menggiring masyarakat global kea rah akhir sosial. Saat ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme, dan solidaritas semakin kehilangan realitas sosialnya. Tak urung sampai di situ, belakangan konsep-konsep tersebut hanya menjadi sebuah mitos belaka dalam masyarakat. Realitas yang bekembang saat ini justru menjauhkan individu dari lingkungan sosialnya. Proses akhir sosial di sini diartikan sebagai sebuah akibat modernisasi yang telah mencapai titik ekstrimnya yang kemudian disebut sebagai hipermodernisasi kontemporer (Piliang, 2004: 133).

Kondisi dinamika sosial saat ini diakui maupun tidak telah pada posisi yang abstrak. Kehiduan sosial pada saat ini telah kehilangan kesatuannya seiring arus perubahan yang terus-menerus, yang di dalamnya aktor-aktor individu tidak lagi bertindak berdasarkan nilai dan norma sosialnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai dan norma sosial semakin memudar oleh penetrasi globalisasi. Dalam kelanjutannya, Masyarakat tidak lagi bergerak berdasarkan nilai dan norma sosial, melinkan dengan strateginya masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan yang lebih didasarkan pada penetrasi pasar. Dan dampaknya adalah tidak ada lagi yang dapat mengontrol masyarakat kecuali kekuatan penetrasi pasar itu sendiri.

Proses akhir sosial tersebut semakin menjadi-jadi tatkala inovasi teknologi semakin cepat. Percepatan proses akhir sosial terjadi ketika media dan informasi telah menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Setiap media dan informasi bergerak melalui dua arah, yakni ke luar: ia memproduksi semakin banyak relasi sosial; ke dalam ia justru menetralisasi relasi sosial itu sendiri (Piliang, 2004: 134). Dari proses inilah kemudian memunculkan satu masyarakat yang terbentuk bukan oleh satu ikatan ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang berkontestasi dalam dinamika masyarakat consumer. ‘Akhir sosial’ suatu masyarakat dapat dilihat dari berbagai fenomena sosial yang nampak, seperti lenyapnya kategori sosial, batas sosial, hierarki sosial yang sebelumnya membentuk suatu masyarakat.

Selanjutnya, jaringan informasi semakin hari semakin transparan dan virtual, tatkala tidak adal lagi moral yang mengikatnya serta ketiadaan ukuran nilai untuk membatasinya. Segala sesuatunya berjalan sangat bebas dalam sirkuit global dalam dunia virtual. Sirkuit virtual ini kemudian membentuk sebuah orbit, dimana individu-individu yang berada di dalamnya akan mengorbit dalam sirkuit tersebut. Dalam sebuah kondisi virtual, individu-individu saling terhubung dalam sebuah kontestasi informasi. Kontestasi tersebut berbentuk sebuah persaingan untuk mendapatkan informasi guna merespon dan menciptakan strategi dalam proses perubahan. Inilah yang kemudian membuat sinergitas individu dalam lingkungan sosial semakin menjauh. Sebaliknya, keterkaitan individu dalam satu cyber space tertentu semakin mengental. Potret inilah yang kemudian banyak mewarnai kehidupan masyarakat dunia pada era teknologi di abad 21.


Referensi:

Abdullah, Irwan

2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Berger, Arthur Asa

2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana

Evers, Hans-Dieter

1991. Trade and State: Social and Political Consequences of Market Integration in Southeast Asia. Pacific Focus, Vol. 5, No. I.

Goffman, E

1951. System of Class Status. British Journal of Sociology No. 2

Hüsken, Frans

1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman. Jakarta: Grasindo

Piliang, Yasraf Amir

2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutta

Simmel, George

1991. “Money in Modern Culture”, Theory, Culture, and Society. London: Routledge.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar